1. Politik Kekeluargaan
Ini terlihat dari semakin banyak anggota keluarga yang bergabung disatu partai politik yang sama.
Partai yang sejak dulu terkenal dengan satu nama keluarga yaitu PDIP. Partai ini sepertinya tidak bisa lepas dari sosok Bung Karno dan keluarganya. Bahkan Capres beberapa periode terakhir masih dengan calon yang sama yaitu ibu Megawati Soekarno Putri. Padahal menurut saya sudah waktunya partai tersebut menonjolkan orang baru. Saya yakin banyak kader PDIP yang bagus untuk dijadikan Capres. Masyarakat sudah bosan dengan muka lama.
Di Partai Demokrat, beberapa keluarga dan kerabat dekat Presiden SBY terdaftar sebagai calon legislatif untuk PEMILU 2014. Bahkan putra bungsu orang nomor satu di Indonesia ini pun kembali masuk daftar calon legislatif setelah kemarin sempat mengundurkan diri dari kursinya di DPR.
Beberapa anggota keluarga dan kerabat H. Rhoma Irama juga masuk kedalam daftar calon legislatif dari PKB. Walaupun sang raja dangdut tidak ikut nyaleg pada periode ini.
Saya pernah membaca di koran Kompas (lupa edisi kapannya), beberapa posisi strategis di propinsi Banten diduduki oleh kerabat sang Gubernur, Ibu Ratu Atut Chosiyah. Kok jadi seperti bagi-bagi jabatan?
*
Beberapa definisi politik yang saya copy dari Wikipedia yaitu :
- politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
- politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
- politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
- politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Berdasarkan definisi diatas, walaupun untuk mewujudkan kebaikan bersama, menurut saya rasanya tidak etis kalau banyak anggota keluarga bergabung disatu partai. Akan lebih banyak ketidakbaikan jika penyelenggaraan pemerintah dan negara dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekerabatan. Kalau pun memang baik, tentu tidak selamanya suara yang datang baik. Akan menimbulkan kecurigaan dimasyarakat akan praktek kolusi dan korupsi.
Apa lagi kalau dilihat dari definisi "Untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan dimasyarakat", sangat tidak cocok jika hal tersebut dilakukan oleh satu keluarga. Jadi seperti membangun sebuah dinasti.
Dan karena politik sebagai proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik, memang sebaiknya tidak tidak ada unsur kekerabatan dalam perumusan dan pelaksanaannya, karena peluang kolusi dan korupsi menjadi sangat besar. Kebijakan dibuat bukan untuk kelompok tertentu apa lagi untuk keluarga dan kerabat.
2. Politik Pencitraan
Saya tidak mengerti apa yang ada dipikiran para politikus saat berkampanye. Yang mereka lakukan sudah amat sangat basi. Pencitraan melalui baliho, dengan kalimat bijak, disertai pemasangan foto yang kurang profesional, pemasangan bendera partai dimana-mana, iklan dimedia televisi yang pasti menghabiskan dana jutaan rupiah. Daripada uang terbuang percuma untuk hal-hal tersebut, kenapa tidak digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat. Seperti membuka rumah belajar yang dapat dipergunakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Atau membuat cek kesehatan dan pengobatan gratis. Pokoknya yang betul-betul berguna bagi masyarakat.
Memang hal tersebut dilakukan. Tapi hanya saat kampanye menjelang PEMILU atau PILKADA. Setelah itu kegiatan-kegiatan tersebut menguap begitu saja.
Ada beberapa politikus yang terus melakukan kegiatan-kegiatan terkait kampanye politik mereka, seperti Bapak Abu Rizal Bakrie dan Bapak Prabowo Subianto. Terlepas dari baik buruknya rekam jejak mereka, setidaknya mereka terlihat berusaha menarik hati masyarakat, walaupun belum tentu juga masyarakat tertarik untuk menjadikan mereka pemimpin Indonesia berikutnya.
Dapat dimengerti kenapa banyak politikus terutama orang-orang baru tidak dapat melakukan kegiatan langsung dimasyarakat. Karena hal tersebut membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dan harus merogoh dari kantong sendiri. Entah berapa rupiah dana yang dihabiskan oleh petinggi partai Golkar dan Gerindra tersebut untuk safari politiknya sepanjang tahun. Bahkan safari politik Bapak Abu Rizal Bakrie tidak hanya dilakukan didalam negeri, tetapi juga diluar negeri. Hmmm.. Orang-orang yang baru terjun kedunia politik apa lagi kondisi finansialnya termasuk kategori standar, mana kuat kalau harus seperti ini.
Sekedar pencitraan atau memang betul-betul tulus dalam melakukan kegiatan dimasyarakat, tidak menjadi jaminan hal tersebut dapat mengambil suara hati rakyat. Dengan informasi yang serba terbuka dan mudah diakses, masyarakat dapat melihat siapa yang memang betul bekerja untuk rakyat, mana yang hanya sekedar bekerja untuk pencitraan. Hal ini tergambar dari banyaknya masyarakat yang tidak terlalu antusias dengan PEMILU 2014.
3. Politik Balik Modal
Untuk duduk manis sebagai anggota legislatif di gedung DPR, dibutuhkan dana kampanye yang tidak sedikit. Angkanya bisa mencapai miliaran rupiah. Bahkan sudah berhasil duduk manis pun masih harus mengeluarkan sejumlah dana sebagai iuran rutin setiap bulan yang disetorkan ke partai dan fraksi.
Bapak Hidayat Nur Wahid menjelaskan bahwa anggota legislatif dari PKS diwajibkan membayar iuran sebesar 20 juta rupiah untuk partai dan 2 juta rupiah untuk iuran fraksi. Dana ini digunakan untuk kegiatan-kegiatan partai, sehingga partai tidak perlu mencari sumber dana lain yang dapat menimbulkan kecurigaan.
Jadi tidak aneh jika ada anggota legislatif mencari sumber tambahan lain karena gajinya dipotong untuk iuran partai dan untuk menutup modal biaya kampanye, baik itu dengan cara halal ataupun tidak halal (korupsi).
Dapat dimengerti kenapa banyak politikus terutama orang-orang baru tidak dapat melakukan kegiatan langsung dimasyarakat. Karena hal tersebut membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dan harus merogoh dari kantong sendiri. Entah berapa rupiah dana yang dihabiskan oleh petinggi partai Golkar dan Gerindra tersebut untuk safari politiknya sepanjang tahun. Bahkan safari politik Bapak Abu Rizal Bakrie tidak hanya dilakukan didalam negeri, tetapi juga diluar negeri. Hmmm.. Orang-orang yang baru terjun kedunia politik apa lagi kondisi finansialnya termasuk kategori standar, mana kuat kalau harus seperti ini.
Sekedar pencitraan atau memang betul-betul tulus dalam melakukan kegiatan dimasyarakat, tidak menjadi jaminan hal tersebut dapat mengambil suara hati rakyat. Dengan informasi yang serba terbuka dan mudah diakses, masyarakat dapat melihat siapa yang memang betul bekerja untuk rakyat, mana yang hanya sekedar bekerja untuk pencitraan. Hal ini tergambar dari banyaknya masyarakat yang tidak terlalu antusias dengan PEMILU 2014.
3. Politik Balik Modal
Untuk duduk manis sebagai anggota legislatif di gedung DPR, dibutuhkan dana kampanye yang tidak sedikit. Angkanya bisa mencapai miliaran rupiah. Bahkan sudah berhasil duduk manis pun masih harus mengeluarkan sejumlah dana sebagai iuran rutin setiap bulan yang disetorkan ke partai dan fraksi.
Bapak Hidayat Nur Wahid menjelaskan bahwa anggota legislatif dari PKS diwajibkan membayar iuran sebesar 20 juta rupiah untuk partai dan 2 juta rupiah untuk iuran fraksi. Dana ini digunakan untuk kegiatan-kegiatan partai, sehingga partai tidak perlu mencari sumber dana lain yang dapat menimbulkan kecurigaan.
Jadi tidak aneh jika ada anggota legislatif mencari sumber tambahan lain karena gajinya dipotong untuk iuran partai dan untuk menutup modal biaya kampanye, baik itu dengan cara halal ataupun tidak halal (korupsi).
4. Politik Popularitas
Sejak dulu memang sudah ada artis yang terjun kedunia politik. Seperti Alm. Sophan Sophian, Nurul Arifin, dan komedian Miing. Bergabungnya mereka ke suatu partai bukan untuk mencari popularitas atau mendongkrak perolehan suara partai. Karena pada saat itu belum ada pemilihan langsung seperti sekarang. Jadi kehadiran mereka memang karena memiliki kesepahaman dengan partai tersebut.
Sekarang, demi mendongkrak perolehan suara, para artis direkrut sebagai anggota partai. Walaupun baru bergabung, artis-artis tersebut dapat langsung menjadi calon legislatif bahkan ikut bertarung dalam PEMILUKADA. Bagaimana bisa orang yang baru terjun kedunia politik, baru bergabung disuatu partai, bisa dan paham akan dunia politik dan dinamikanya? Haruskah kita percaya dengan orang-orang yang hanya mengandalkan popularitas tanpa kita tahu kapabilitasnya?
Walaupun partai-partai menyatakan bahwa mereka melakukan seleksi kepada artis yang menjadi calon legislatifnya, saya tetap tidak yakin dengan orang-orang baru ini. Mestinya partai melakukan kaderisasi, bukan hanya sekedar rekrut karena populer. Artis yang mau bergabung dipartai pun seharusnya rela meniti karir dari bawah, tidak langsung begitu saja menjadi calon legislatif. Diperlukan pemahaman akan dunia politik terutama pemahaman ideologi dari partai tempatnya bernaung. Apakah cocok dan sesuai dengan hati nuraninya?
Menjadi wakil rakyat bukan pekerjaan mudah, bukan tempat untuk menaikkan popularitas diri, apa lagi sebagai tempat mencari nafkah baru karena sudah tidak laku didunia entertainment. Tetapi menjadi wakil rakyat diperlukan dedikasi dan ketulusan hati dalam menjalankan tugas-tugasnya. Juga hati nurani bahwa yang dilakukannya untuk kebaikan seluruh masyarakat Indonesia, bukan untuk partai atau keluarganya.
Walaupun partai-partai menyatakan bahwa mereka melakukan seleksi kepada artis yang menjadi calon legislatifnya, saya tetap tidak yakin dengan orang-orang baru ini. Mestinya partai melakukan kaderisasi, bukan hanya sekedar rekrut karena populer. Artis yang mau bergabung dipartai pun seharusnya rela meniti karir dari bawah, tidak langsung begitu saja menjadi calon legislatif. Diperlukan pemahaman akan dunia politik terutama pemahaman ideologi dari partai tempatnya bernaung. Apakah cocok dan sesuai dengan hati nuraninya?
Menjadi wakil rakyat bukan pekerjaan mudah, bukan tempat untuk menaikkan popularitas diri, apa lagi sebagai tempat mencari nafkah baru karena sudah tidak laku didunia entertainment. Tetapi menjadi wakil rakyat diperlukan dedikasi dan ketulusan hati dalam menjalankan tugas-tugasnya. Juga hati nurani bahwa yang dilakukannya untuk kebaikan seluruh masyarakat Indonesia, bukan untuk partai atau keluarganya.
5. Politik Sakit Hati.
Sudah biasa dalam dunia politik yang awalnya teman berubah menjadi lawan, atau tadinya lawan menjadi kawan.
Kita melihat bagaimana seorang Yudi Chrisnandi berpindah dari partai Golkar ke partai Hanura. Bapak Hari Tanoesoedibyo dari Partai NasDem juga pindah ke partai Hanura. Bahkan H. Rhoma Irama, beberapa kali pindah-pindah partai. Alasannya sih karena sudah tidak sehati lagi, atau memang telah disakiti hatinya? Entah...
Politik sakit hati juga terlihat dari sering terjadinya kericuhan antar pendukung partai dalam PEMILUKADA. Para petinggi partai pun sering menunjukkan ketidaklegaan jika partainya kalah. Bahkan dinamika intern partai pun sudah menjadi konsumsi publik. Bagaimana rakyat bisa percaya kepada suatu partai untuk menyampaikan aspirasinya, jika intern partai sendiri gontok-gontokan?
Sudah biasa dalam dunia politik yang awalnya teman berubah menjadi lawan, atau tadinya lawan menjadi kawan.
Kita melihat bagaimana seorang Yudi Chrisnandi berpindah dari partai Golkar ke partai Hanura. Bapak Hari Tanoesoedibyo dari Partai NasDem juga pindah ke partai Hanura. Bahkan H. Rhoma Irama, beberapa kali pindah-pindah partai. Alasannya sih karena sudah tidak sehati lagi, atau memang telah disakiti hatinya? Entah...
Politik sakit hati juga terlihat dari sering terjadinya kericuhan antar pendukung partai dalam PEMILUKADA. Para petinggi partai pun sering menunjukkan ketidaklegaan jika partainya kalah. Bahkan dinamika intern partai pun sudah menjadi konsumsi publik. Bagaimana rakyat bisa percaya kepada suatu partai untuk menyampaikan aspirasinya, jika intern partai sendiri gontok-gontokan?
6. Politik Dagelan
Ini yang paling parah. Seorang yang baru bergabung disuatu partai, dan dengan pe-de langsung menjadi calon legislatif, ditanya dia mewakili daerah mana, dia menjawab "Duh, saya lupa daerah mana, kalau tidak salah Jateng II"
Bagaimana bisa orang seperti ini direkrut? Atas dasar apa perekrutan dan pencalonannya?
Bagaimana bisa orang ini memberikan kontribusi bagi daerah yang diwakilinya? Wong dia saja tidak tahu asal usulnya. Jangan-jangan dia juga tidak tahu seluk beluk wilayah yang diwakilinya, karena setahu saya orang ini lebih sering wara-wiri di Ibukota.