Translate

Jumat, 15 Maret 2013

Toleransi

Kata toleransi sudah sangat akrab ditelinga sejak kita masih duduk dibangku Sekolah Dasar. Sejak kecil kita sudah diajarkan untuk bertoleransi dengan sesama.

Ada toleransi antar umat beragama, yang mengajarkan kita untuk saling menghormati dan menghargai antar sesama umat beragama walaupun berbeda keyakinan. Toleransi suku dan budaya, dimana Indonesia memiliki banyak suku dengan banyak budaya berbeda yang dapat dengan mudah terjadi pergesekan antara satu suku dengan suku lainnya.

Inti dari toleransi adalah menghargai dan menghormati perbedan yang ada, tanpa menjadikan perbedaan tersebut menjadi penghalang dalam hubungan antar manusia.

Namun kenyataannya toleransi saat ini hanya sebuah kata. Kita bisa melihat bagaimana sebuah ormas melakukan razia terhadap warung dan rumah makan yang tetap beroperasi disiang hari pada saat bulan Ramadhan dengan dalih harus menghormati orang yang sedang menjalankan ibadah puasa. Bukannya sikap mereka justru menodai ibadah puasa mereka sendiri karena mengganggu ketertiban umum? Selain itu, ini Indonesia Bung! Yang tinggal disini bukan hanya umat muslim, tapi juga umat-umat dari agama lain, yang tetap harus melakukan rutinitas makan siang diwarung, rumah makan atau resto favorit. Dimana toleransi antar umat beragama?

Kita pun pernah dikejutkan dengan perang antar suku didataran Kalimantan yang aksinya cukup sadis hingga menjadi sorotan media asing. Kemana rasa kebhinekaan kita?

Kalau bicara hal-hal tersebut sepertinya cukup berat untuk dibahas disini. Bagaimana dengan toleransi dilingkup terkecil kita? Seperti lingkungan keluarga, tetangga, sekolah, dan lingkungan kerja.

Ini juga sepertinya sudah mulai luntur. Saya pernah melihat disatu lingkungan sosial bagaimana para orang tua ingin mengaktifkan para pemuda dilingkungannya, dengan cara dan pemikiran para orang tua, tanpa melihat bagaimana pemikiran para pemuda yang akan menjadi motor penggerak kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan. Hasilnya? Nihil, karena tidak ada toleransi antara pihak yang satu dengan yang lain, jadinya tidak pernah nyambung.

Dilingkungan kerja kita bisa merasakan bagaimana para atasan lebih sering tidak bertoleransi terhadap bawahan. Seakan-akan si bawahan harus selalu doing right, knows everything.

Dilingkungan keluarga bagaimana istri harus bertoleransi dengan hobi otomotif suami yang menghabiskan rupiah cukup banyak, sedangkan suami complain ketika istri nyalon. Atau bagaimana suami bertoleransi dengan kegiatan arisan istrinya, yang setiap arisan selalu ada barang cicilan baru, tetapi sang istri malah senewen dengan kongkow-kongkow suami dan rekan-rekan kantornya, walaupun hanya sekedar ngopi-ngopi di Starbucks.

Lebih ironis lagi ada seorang teman pria, suatu kali pernah menolak ajakan teman-teman semasa kuliah untuk kumpul-kumpul, setelah Senin hingga Jumat lebih banyak dengan urusan pekerjaan, teman saya ini memilih untuk menghabiskan akhir pekan bersama istri dan anak tercinta, malah menerima komentar pedas dari seorang teman yang masih single  "Kenapa? Lo dilarang bini lo? Ah payah lo ISTI"*
Melihat sikap temannya yang tidak menghormati perubahan fase hidup seseorang, akhirnya teman saya membatasi acara kumpul-kumpul dengan teman-temannya itu.

Saya pun pernah mengalami hal tidak mengenakkan dengan seorang teman yang saya kenal sejak masih Sekolah Dasar. Hanya karena saya dan beberapa teman di facebook, membahas tentang satu acara yang  akan diadakan disebuah resto & bar milik seorang DJ terkenal, tiba-tiba muncul komentar dari teman saya itu "Masih aja Ta? Ga inget umur? Mending pengajian kali". Mungkin maksud teman saya itu baik, mengingat perubahan gaya hidupnya yang lebih agamis. Tapi bukankah semakin dekat dengan Tuhan seharusnya semakin bisa menghargai dan menghormati orang lain, menerima perbedaan-perbedaan yang ada tanpa harus ikut-ikutan? Apa lagi dalam kehidupan social media, dimana orang bisa sesuka hati memuat apa saja di akun social media mereka (baca: eksis, narsis) dan kita harus memaklumi hal tersebut.

Dalam hubungan yang masih sebatas pacaran bisa lebih parah lagi. Sampai ada istilah "Lebih sulit berkompromi dengan pacar dibandingkan orang tua sendiri". Nah loh?!

Lalu bagaimana kita menyikapi hal-hal seperti itu? Saya pribadi memilih no comment. Untuk beberapa kasus kadang dibarengi sikap perlahan mundur teratur dari orang-orang yang sulit bertoleransi dengan orang lain. Bukan tidak mau bertoleransi dengan sikap orang lain, tapi cape juga kan kalau sering menghadapi sikap-sikap seperti itu. Saya kira kita pun harus memiliki batasan seberapa jauh kita bisa mentoleransi sikap-sikap orang lain yang sulit bertoleransi terhadap keadaan dan perubahan yang ada.

Mungkin memang dinamika kehidupan sengaja dibuat Tuhan seperti itu, agar kita bisa belajar dan mengambil hikmah, untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi.

---

*ISTI : Ikatan Suami Takut Istri


1 komentar:

  1. Ha... ha... biasanya org kalau teges di luar tapi di dalam rumah diya jadi ISTI

    BalasHapus