Rehat sejenak dari
cerita cinta, mari bicara sepak bola.
*
Dulu aktivitas pagi
diawali dengan membaca koran ditemani secangkir minuman hangat, bisa kopi, teh
atau susu. Bagi banyak orang mengawali
hari dengan membaca koran hukumnya wajib.
Namun seiring waktu
kebiasaan ini mulai hilang. Salah satu penyebabnya adalah padatnya jalanan pada
pagi hari sehingga waktu tempuh menuju kantor menjadi lebih lama. Para pekerja
harus berangkat lebih awal, maka tak ada lagi waktu untuk santai sejenak menikmati secangkir kopi hangat sambil membaca koran, karena akan membuat
terlambat tiba di kantor.
Tidak membaca koran bukan
berarti tak mengetahui berita terkini. Kecanggihan teknologi membuat berita
lebih mudah di akses. Membaca berita dapat melalui portal berita elektronik, melalui aplikasi-aplikasi berita pada telepon genggam dan media sosial. Kini berita bisa kita baca kapan pun di mana
pun.
Berita pagi ini kurang
lebih sama seperti hari-hari kemarin. Kasus penistaan agama yang menimpa
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama, masalah politik dan ekonomi mendominasi lini masa
akun twitter saya. Namun ada satu berita yang menarik perhatian, yaitu
berita yang dirilis oleh PSSI mengenai hasil sidang Komisi Disiplin
PSSI pada hari Kamis, 4 Mei 2017.
*
Bicara tentang sepak bola, sebetulnya saya bukanlah ahlinya, walau pun sejak kecil
saya memang sudah mengenal apa itu sepak bola. Ayah dan ibu saya adalah
penggemar berat tim asal Italia, AC Milan. Saya tumbuh dengan nama-nama besar
para pemain klub-klub Eropa kala itu, seperti Ruud Gullit, Donna Donni, dan Marco
Van Basten. Beranjak dewasa saya lebih menyukai liga Inggris dibandingkan liga
Italia. Manchester United adalah salah satu tim favorit saya. Kala itu tim di
isi oleh para pemain handal seperti Paul Scholes, Rio Ferdinand, Ryan Giggs,
David Beckham, dan Garry Neville. Bisa dibilang ini adalah susunan pemain terbaik yang pernah
dimiliki oleh tim berlambang setan merah tersebut.
Kala gegap gempita
sepak bola Eropa menarik perhatian saya, justru saya tak tertarik dengan sepak
bola di negeri sendiri. Bagi saya sepak bola Indonesia saat itu membosankan, ditambah
isu-isu politik yang menyelimutinya membuat semakin tidak tertarik untuk
melihatnya.
Saya mulai melirik
sepak bola Indonesia sejak Bambang Pamungkas, Firman Utina, Irfan Bachdim, Christian
Gonzales dan kawan kawan menunjukan taringnya pada sepak bola Asia (saya lupa
persisnya tahun berapa, kalau tidak salah 2010). Saya melihat gaya permainan
Timnas Indonesia sudah membaik, mereka dapat mengimbangi pemain-pemain lawan
dari negara-negara tetangga.
Sejak itu pula sedikit
demi sedikit saya mengikuti perkembangan sepak bola di Indonesia. Berbagai
polemik menghampiri, seperti sempat adanya dualisme pada tubuh PSSI, adanya dua
kompetisi yang berjalan, hingga yang terakhir pada tahun 2015 Indonesia terkena
sanksi FIFA. Sepak bola di Indonesia dibekukan. Kurang lebih
satu tahun para insan sepak bola dibuat tak berdaya.
Lepas dari pembekuan
FIFA pada tahun 2016, dengan kepengurusan baru dibawah pimpinan Edy Rahmayadi
dan mengusung slogan: Profesional Bermartabat, PSSI terus membenahi diri.
Sayangnya ketika
institusi dan tim bebenah diri, tidak dengan para suporter. Masih ada
suporter-suporter nakal yang memberikan imbas negatif pada tim yang
didukungnya. Saya pun baru mengetahui bahwa ada regulasi yang dapat membuat tim terkena sanksi
karena ulah suporternya.
*
Seperti yang dilansir
pada laman www.pssi.org hari ini, memasuki pekan kelima kompetisi beberapa tim sudah terkena sanksi denda. Diantaranya Persegeres
Gresik United yang dikenakan sangsi denda sebesar Rp. 25.000.000 akibat ulah
suporter yang melakukan pelemparan pada bus Semen Padang hingga kaca bus pecah
dan seorang pemain Semen Padang mengalami luka. Persib Bandung pun terkena
imbas akibat ulang suporter. Tim asal kota Bandung tersebut terkena sangsi
denda sebesar Rp. 10.000.000 karena suporter menyalakan flare. Selengkapnya klik
: http://pssi.org/in/read/PSSI/Hasil-Keputusan-Sidang-Komisi-Disiplin-PSSI-Kamis-4-Mei-2017-7987
Bagi tim,
suporter adalah pemain kedua belas. Tanpa suporter di pinggir lapangan, sepak
bola rasanya hambar.
Beberapa tim telah menjalin
kerjasama yang baik dengan para suporternya, mereka menjalin komuniksi untuk bersama-sama
menjaga suasana pertandingan tetap kondusif. Namun tetap saja masih ada oknum
yang hobi huru hara.
Slogan Profesional dan
Bermartabat bukan saja milik PSSI, tetapi milik seluruh insan sepak bola
termasuk suporter. Suporter yang profesional adalah suporter yang memberikan iklim
positif pada kompetisi, berperan serta dalam kemajuan sepak bola Indonesia. Suporter
yang bermartabat adalah suporter yang sportif, menerima kekalahan tim yang
didukungnya, tak membuat huru hara hingga membuat tim yang didukungnya dikenai sanksi.
***
#30DaysWritingChallenge
#30DWC
#30DWCJilid5
#Day25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar